Pintu Revisi UU ITE Mulai Terbuka
Banyak korban yang terjerat pasal pencemaran nama baik.
Setelah sekian lama mengalami pro kontra, revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akhirnya dimasukkan ke dalam Prolegnas 2015. Namun, sepertinya, revisi ini hanya akan menyangkut pasal pencemaran nama baik, yang khusus tertuang di pasal 27 ayat 3.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara, mengatakan, akan mengawal proses revisi ini. Menkominfo dan DPR pun mencapai kata sepakat jika UU ITE, khususnya pasal pencemaran nama baik, memang sangat berbahaya. Bahkan, akan semakin banyak korban yang terjerat jika pasal itu tetap dipertahankan.
"Undang-undang ini amat berbahaya kalau dibiarkan terus dan tidak direvisi. Minggu lalu kami di Komisi I DPR sudah mencapai kesepakatan, salah satunya adalah revisi Undang-Undang ITE," ujar Anggota Komisi I DPR RI, Meutya Hafid.
Ditambahkan Rudiantara, sejatinya UU ITE mampu melindungi setiap transaksi yang terjadi di dunia maya yang menggunakan perangkat teknologi. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan transaksi elektronik, pemerintah membuat UU ini untuk melindungi masyarakat. Hanya saja, lanjut dia, permasalahannya ada pada penerapan dan lemahnya kompetensi aparat hukum.
"Masalahnya hanya ada pada penerapan di pasal 27 ayat 3. Pasal itu mengatur tentang pelarangan melakukan pencemaran nama baik di media sosial. Namun, tidak dijelaskan penggolongan jenis penghinaan dan pencemaran nama baik," ujar Rudiantara.
Oleh karena itu, lanjut Meutya, butuh adanya edukasi tentang internet , khususnya untuk generasi muda agar dapat mengerti apa saja yang boleh dan tidak boleh diakses dari internet ataupun jejaring sosial. Dia juga menekankan bahwa diperlukan adanya proporsi yang imbang antara pengembangan infrastruktur dan pendampingan untuk sosialisasi tentang penggunaan teknologi informasi.
Hilang Pasal atau Kurangi Hukuman
Banyak opsi yang diusulkan terkait dengan perubahan UU ITE ini. Satu opsi meminta penghilangan pasal 27 ayat 3, sedangkan lainnya menyarankan pengurangan masa hukuman dari sebelumnya yang mencapai 6 tahun penjara. Namun, Meutya secara pribadi memilih untuk menghilangkan pasal tersebut.
“Kalau saya, lebih baik dihilangkan. Kan sudah ada KUHP yang mengatur tentang itu," ungkap Meutya.
Pengamat Telematika, Heru Sutadi berpendapat berbeda. Menurut dia, permasalahannya, saat ini UU ITE dalam penerapannya belum bisa membedakan, mana yang mengungkapkan kebenaran dan mana pencemaran nama baik.
“Ada yang mengungkapkan kebenaran malah difitnah dan dibawa ke pengadilan. Dia yang mengungkapkan kasus tapi malah dituduh balik dan dimasukkan ke penjara. Cara (mengantisipasinya) bisa dengan membuat klausul terkait pasal itu. Jangan sampai yang mengungkapkan kebenaran malah digugat balik,” kata dia.
Namun yang terpenting, kata dia, rencana revisi yang telah berlarut-larut ini harus bisa segera dibahas oleh pemerintah. Menurut dia, dihilangkan atau dikurangi masa hukumannya hingga sesuai KUHP, keduanya sama saja, yang terpenting revisi tersebut bisa segera memberikan perubahan agar tidak ada lagi korban yang jatuh.
“Utamanya kemauan pemerintah dan DPR untuk duduk bersama dan segera membahasnya. Opsi untuk direvisi tidak begitu banyak, jadi harusnya dua kali masa sidang normalnya sudah beres. Namun, akan lebih bagus lagi kalau pembahasanannya hanya satu masa sidang,” kata Heru.
Anggota DPR dan Aparat yang Tidak Kompeten
Dalam pelaksanaannya, UU ITE memang kerap disalahgunakan. Akibatnya, menurut Rudiantara, aparat penegak hukum dengan mudah menahan seseorang yang mencemarkan nama baik. Yang cukup disayangkan juga, lanjut dia, aparat penegak hukum tidak memiliki kompetensi yang memadai terkait pemahaman UU ITE.
"Memang aparat penegak hukum harus memiliki kompetensi yang memadai terkait pemahaman UU ITE. Jika mereka ingin menerapkan, harus hati-hati, dan aparat penegak hukum harus memiliki kompetensi yang memadai," ujar Rudiantara.
Tidak hanya aparat, menurut Meutya, koleganya di DPR, khususnya di Komisi I, juga tidak terlalu memahami isi dari UU ITE ini, khususnya anggota DPR. Masing-masing dari mereka memiliki kompetensi yang berbeda-beda dan hanya sedikit yang paham masalah Undang-Undang ITE.
“Di DPR tidak banyak yang mengenal barang ini apa. Namun begitu, kami tetap akan fokus untuk merespons masalah undang-undang ini, bahkan akan merevisinya, khususnya pasal 27 tentang pencemaran nama baik di dunia maya,” ujar Meutya.
Tidak kompetennya aparat dan anggota DPR ini telah lama menjadi perhatian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Dalam bukunya yang berjudul Tata Kelola Internet Bebasis Hak: Studi tentang Permasalahan Umum Tata Kelola Internet dan Dampaknya terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia, mereka memberikan rekomendasi.
Salah satunya, menurut mereka, perlunya diskusi yang luas dan terbuka yang melibatkan partisipasi warga dan pengguna internet dalam proses pembentukan kebijakan yang terkait dengan pengolahan internet.
“Perkembangan internet menjangkau secara luas berbagai isu dan karena itu perlu dilakukan konsolidasi, melakukan pemetaan permasalahan secara konstruktif,” tulis mereka.
Gaung revisi pasal 27 ayat 3 UU No. 11 terkait ITE telah lama didengungkan. Malah beberapa saat setelah diresmikan tahun 2008, banyak pihak yang mengajukan judicial review terkait pasal pencemaran nama baik itu.
Pasal itu dianggap "karet" karena bisa menjerat siapa saja yang "curhat" melalui perangkat elektronik. Memang beda tipis pengertian antara berkeluh kesah dengan mencemarkan nama baik.
Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) menunjukkan, hingga November 2014, ada setidaknya 72 korban yang dijerat pasal karet UU ITE tersebut. Diharapkan Ervani Emi Handayani (29), akan menjadi orang terakhir yang dijerat pasal tak jelas itu, seiring dengan upaya Menkominfo mengawal revisi pasal 27 ayat 3 di DPR. (art)
Sumber : vivanews.com