Mengabdi di Pedalaman Kimaam
Mengabdi di Pedalaman Kimaam
Pulau Yos Sudarso atau orang biasa sebut pulau Kimaam. Sebuah pulau kecil yang berada di kaki Pulau Papua ini telah menjadi rumah kedua saya selama satu tahun ini tepatnya di Distrik Kimaam. Nama saya Imam Muslim, asal dari Yogyakarta. Saya adalah salah satu Guru SM3T (Sarjana Mendidik Daeraah Terdepan Terluar dan Tertinggal) yang dikirim oleh Dikti untuk mengajar di wilayah pedalaman. Di Distrik Kimaam sendiri ada 18 Guru SM3T yang ditempatkan di beberapa sekolah mulai dari Paud hingga tingkat SMA. Di sini saya ditugaskan di SMA Negeri Kimaam dengan 2 rekan saya yaitu Rahma D Linangkung dan Dilla Oktarosade.
Masih ingat betul ketika pertama kali tiba di SMA N Kimaam ini, ketika itu tidak ada rumah yang dapat kita jadikan untuk tempat tinggal, hingga akhirnya kita memutuskan untuk tinggal di bangunan bekas kantor yang kita sulap menjadi seperti rumah dan layak ditinggali. Tinggal dan mengabdi di daerah pedalaman memang menjadi tantangan tersendiri. Kita harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ada, mulai dari keadaan alam di Distrik Kimaam yang seluruh daerahnya merupakan rawa, yang ketika musim panas keberadaan air bersih menjadi sangat berharga, apalagi tidak adanya sumber air bersih seperti sumur memaksa kita untuk menggunakan air dari galian/genangan yang warnanya keruh untuk keperluan masak dan minum.
Selain dari faktor alam, faktor manusia juga sangat berbeda di sini, apalagi dalam hal tingkat pemahaman dalam pendidikan terasa jauh sekali dengan di kota. Mengingat dipedalaman segala sesuatu serba terbatas termasuk juga informasi.
Banyak hal unik yang saya temui selama mengajar di pedalaam Kimaam ini, salah satunya adalah “Fenomena Jam Matahari”, dimana anak-anak murid berangkat ke sekolah berdasarkan posisi matahari, ketika matahari berada seperempat naik mereka baru berangkat. Namun ketika cuaca mendung dan matahari tidak terlihat maka otomatis sekolah sudah pasti akan sepi karena mereka menganggap masih pagi walaupun sudah jam 09.00 WIT. Hal ini disebabkan karena hampir semua siswa di SMA Kimaam ini tidak mempunyai jam, bahkan juga sebagian besar mereka sama sekali tidak bisa membaca jam.
Selain itu, proses pendidikan di pedalaman ini juga berbeda dengan di kota-kota yang dapat masuk sekolah hingga pukul 14.00. Di sini, biasanya proses belajar mengajar di sekolah paling lama hanya sampai jam 11.00 WIT saja, ini disebabkan sebagian besar dari siswa yang sekolah di SMA Kimaam ini berasal dari kampung-kampung yang jauh, yang jaraknya seharian jalan kaki, bahkan banyak juga yang berasal dari luar Distrik Kimaam seperti Distrik Waan. Para siswa yang dari kampung-kampung jauh tersebut di Kimaam hanya tinggal numpang ditempat saudara dan harus mencari makan sendiri di hutan. Karena itulah di sini kita tidak bisa memaksa mereka untuk sekolah sampai siang, karena siang hari mereka harus cari makan sendiri di hutan. Yang ada kita lah yang harus menyesuaikan dengan pola hidup mereka. Bagi saya sendiri, mereka masih mau berangkat ke sekolah saja saya sudah sangat bersyukur, mengingat segala keterbatasan yang ada di pedalaman.
Penyelenggaraan proses pendidikan di pedalaman memang penuh dengan keterbatasan. Mulai dari kurangnya bangunan sekolah, buku-buku, alat-alat kelengkapan penunjang pembelajaran, hingga kurangnya tenaga pengajar terutama di SMA Kimaam ini. Ada beberapa mata pelajaran yang tidak ada gurunya. Sehingga mau tidak mau saya harus mengajar beberapa pelajaran yang tidak ada gurunya. Bahkan sering juga untuk mengisi kekosongan guru, saya mengajar dua atau tiga kelas sekaligus dalam waktu yang sama.
Jika ditanya kenapa mau mengajar di pedalaman Kimaam ini ?.. Bingung juga mau jawab apa, tapi untuk sekarang pilihan inilah yang saya inginkan. Telah banyak yang Negara berikan untuk saya, tetapi saya sama sekali belum memberikan apa-apa untuk Negara ini. Mungkin dengan menjadi Guru di pedalaman inilah saya bisa mengabdikan diri untuk negara. Hakikatnya pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat termasuk mereka yang di pedalaman. Bukan tidak mungkin nantinya akan muncul juga pemimpin-pemimpin hebat dari ujung Timur Indonesia ini.
Di tanah Kimaam ini pula telah mengajarkan saya tentang arti “Rindu” yang sesungguhnya. Selama mengabdi di pedalaman ini, “rindu” adalah rasa yang setiap hari saya rasakan. Rindu kepada Orang Tua, teman-teman, kampung halaman, dan tidak lama lagi pasti saya juga akan merasakan rindu pedalaman Kimaam ini seiring dengan berakhirnya tugas saya bulan Agustus tahun 2016 ini di Distrik Kimaam ini.
Sumber : Imam Muslim/Guru SM3T