Dari Sampah Mangrove Menjadi Barang Kreatif, Inspirasi dari Mama-Mama di Merauke
Dari sampah menjadi bahan kreatif untuk dijual. Foto: Agapitus Batbual/Mongabay.coid
Kristina Hobi Sige (41), perempuan paruh baya itu sedang menyusui anak bungsunya Ronald Sige di dapur rumah yang sangat sempit. Sambil menyusui, ibu tujuh anak ini tetap asyik bekerja. Tangannya menarik benang nilon kemudian merajutnya secara cermat. Di suatu sudut tertumpuk bahan-bahan yang digunakannya untuk bekerja.
Sekilas tidak ada yang menarik dari peralatan yang digunakannya, selain nilon atau senar pancing. Beberapa potongan plastik bekas minuman energi yang tak terpakai lagi tampak sedang dia atur.”Yang saya pakai hanya dibagian bawah saja,” tutur Sige.
Ternyata di tangan Sige yang terampil, bahan tersebut jika dirangkai dapat menjadi piring. Ada empat warna yang biasa dipergunakannya yaitu hijau, putih, merah dan kuning. Nilon atau senar, satu demi satu ditarik memanjang. Satu demi satu bekas minuman tersebut saling ditindih. Lalu direkatkan dengan nilon hingga selesai.
Hasilnya, berbagai bekas minuman ini dirangkai menjadi piring, lemari, keranjang, tas, hiasan dinding, topi dan lain sebagainya. “Kalau gengsi tidak penghasilan,” ujarnya menjelaskan alasannya bekerja.
Perempuan Papua asal Kampung Aboge, Kabupaten Mappi ini mengaku, setiap saat menerima orderan dari berbagai Kabupaten di Papua seperti Mappi, Merauke, Boven Digoel, Timika dan Asmat. “Tuhan menciptakan otak, tangan, kaki, mata untuk berbuat sesuatu bagi orang lain.” Demikian Sige mencoba berfilosofi.
Dia merasa bangga hasil kerajinan tangannya ternyata dapat diterima oleh konsumen. Permintaan pun mengalir dari mana-mana, hingga dirinya membentuk Kelompok Kerajinan Mama-Mama Papua Cipta Karsa pada 2013.
Kristina Hobi Sige, salah seorang penggerak mama-mama di Merauke
untuk memanfaatkan sisa limbah plastik yang ada di lingkungan tempat tinggal mereka
dan memanfaatkannya menjadi barang kreatif. Foto: Agapitus Batbual
Arti cipta karsa berasal dari berkumpul, mengeluarkan ide serta mencipta. Awalnya hanya enam orang tetapi kemudian berkembang lagi menjadi banyak menjadi dua belas orang.
Kala orderan anyaman banyak, maka mama-mama ini dapat mengerjakan anyaman bahkan di luar rumah. Ada sebuah lapangan kecil di kampung mereka, tempat mereka duduk di sana. “Kami rajut kerajinan di sana,” jelas Sige.
Sige mempunyai mimpi, agar suatu saat kelompoknya menyusun jadwal produk, mengelola pengeluaran serta pendapatan, temasuk pencatatan arus kas kelompok yang rapi.
Ketika ditanya darimana ide mengelola sampah plastik muncul. Menurutnya, ide itu muncul saat menjumpai banyak sampah plastik bekas botol minuman energi yang tersangkut di pohon mangrove saat air pasang naik. Kebetulan rumah Sige memang tidak terlalu jauh dari pesisir pantai. Umumnya sampah-sampah, seperti botol-botol minuman energi itu tersangkut di perakaran mangrove saat air pasang naik.
Menurutnya tidak ada patokan harga untuk produknya. Harga terentang bervariasi dari harga lima ribuan hingga lima ratus ribu rupiah. Tergantung dari lama pembuatan dan kesulitan memodifikasi suatu produk.
Selain membersihkan lingkungan, maka usaha ini pun ternyata turut pula memberdayakan para ibu rumah tangga yang selama ini tidak memiliki pekerjaan.
Meski tampak sederhana, apa yang dikerjakan oleh mama-mama ini ternyata dipuji oleh Bupati Merauke Frederikus Gebze secara serius. Menurutnya, apa yang dikerjakan oleh mama-mama ini telah membantu pemberdayaan warga Papua lokal.
Selama ini jelas Gebze, orientasi orang Merauke umumnya masih berorientasi sebagai karyawan, dengan modal ijasah sekolah. Bagi Gebze, jika mereka kreatif dan ditambah dengan sebuah keterampilan, maka mereka akan mampu menciptakan lapangan pekerjaannya sendiri.
“Ternyata daur ulang sampah, mendatangkan penghasilan. Mereka membuka satu lagi lapangan kerja bagi orang lain,” ungkap Bupati.
Sumber : Mongabay.co.id