
PRAKTEK SMART CITY DI INDONESIA
Akhir-akhir ini berbagai kalangan dari pusat, daerah, maupun internasional menyelenggarakan seminar atau forum untuk berbagi konsep dan pengalaman mengenai “Smart City”.
Dari berbagai seminar atau forum itu mengemuka konsep-konsep dan praktik-praktik Smart City dengan tujuan, kebutuhan, dan tantangan masing-masing dari lembaga atau pemerintah daerah yang melakukannya. Beberapa pemerintah daerah yang menonjol dan banyak diundang untuk berbagi pengalaman dalam penerapan Smart City adalah Kota Surabaya, Kota Bandung, Kota Banda Aceh, Kota Pekalongan, Kota Makassar, dan Kabupaten Banyuwangi. Secara umum, konsep maupun praktik Smart City lekat dengan pemanfaatan teknologi untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanannya kepada masyarakat.
Pengalaman dari beberapa kota dan kabupaten tersebut telah menginspirasi pemerintah daerah atau lembaga lainnya untuk belajar dan mereplikasikannya. Namun masih ada pula yang memperdebatkan bahkan mempertanyakan pengertian tentang Smart City atau Kota Pintar.
Apa itu Smart City?
Profesor Sudaryono Guru Besar Perencanaan Kota UGM menyatakan Smart City akan menggunakan pemanfaatan teknologi dan informasi untuk memaksimalkan sumber daya yang ada. Dengan memaksimalkan sumber daya ini, diharapkan pelayanan kepada warga bisa lebih efektif dan efisien.Tujuannya untuk menghubungkan, memonitor, dan mengendalikan berbagai sumber daya yang ada di dalam kota dengan lebih efektif dan efisien. Dengan begitu, maka pelayanan kepada warga akan lebih maksimal.
Menurut Wikipedia, definisi dari Smart City yaitu menggunakan teknologi digital atau informasi dan komunikasi (TIK) untuk meningkatkan kualitas dan kinerja pelayanan perkotaan, mengurangi biaya dan konsumsi sumber daya, dan untuk terlibat lebih efektif dan aktif dengan warganya.
Deakin dan Al Wear menyatakan ada empat faktor yang berkontribusi terhadap definisi Smart City:
1. Aplikasi dari berbagai teknologi elektronik dan digital untuk masyarakat dan kota
2. Penggunaan TIK untuk mengubah hidup dan lingkungan kerja dalam satu wilayah (daerah)
3. Melekatkan TIK dalam sistem pemerintahan
4. Teritorialisasi praktik yang membawa TIK dan orang-orang bersama-sama untuk meningkatkan inovasi dan pengetahuan yang mereka tawarkan
Dari tiga definisi diatas, maka Smart City tidak hanya sebatas penggunaan TIK dalam suatu proses penyelenggaraan atau pengelolaan daerah, namun lebih pada upaya untuk peningkatan kualitas hidup melalui pengelolaan sumber daya secara lebih efektip dan efesien serta adanya keterlibatan masyarakatnya. Pekerjaan yang paling sulit adalah mengubah hidup dan lingkungan kerja untuk bersama-sama menerapkan praktik-praktik inovatif atau hal yang baru secara konsisten dan berkelanjutan. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dicapai dalam waktu yang singkat, namun perlu didukung dengan ketersediaan anggaran yang memadai, kelembagaan dan payung hukum, komitmen yang kuat dari berbagai pemangku kepentingan dan tentunya partisipasi masyarakat sebagai penerima manfaat dari program-program yang dilakukan.
Dari berbagai forum mengenai Smart City ditekankan bahwa e (elektronik) atau TI (Teknologi Informasi) bukanlah tujuan, tapi sebagai pemberdaya (enabler) untuk memberikan nilai tambah kepada masyarakat (value added) dalam bentuk penyediaan pelayanan yang lebih baik dan peningkatan kualitas hidup.
Penerapan Smart City yang Terintegrasi
Kota Surabaya pada tahun 2011 meraih Smart City Award 2011 dari majalah Warta Ekonomi dan Warta e-Gov tentang kota yang telah mengimplementasikan teknologi informasi dan komunikasi dalam tatanan kehidupannya.
Kota Surabaya memulai pembenahan internal kinerja pemerintahan sebagai fokus utama pada tahun 2003 hingga 2005. Pembenahan kinerja pemerintahan dilakukan dengan memperbaiki ketrampilan (skill) pegawai dalam penggunaan TIK. Tahap berikutnya pada tahun 2006 hingga 2008, Kota Surabaya melakukan penguatan masyarakat melalui program-program pengembalian kepercayaan masyarakat dan penyiapan masyarakat untuk penggunaan TIK. Tahap ini dilakukan secara paralel dengan peningkatan kinerja pemerintahan maupun penyiapan sistem dan aplikasi IT untuk pelayanan publik hingga ke tingkat kelurahan. Pada kurun waktu 2009 sampai 2010, Kota Surabaya memfokuskan pada pengembangan pelayanan publik berbasis TIK pada saat masyarakat dinilai sudah siap dengan teknologi. Tahap berikutnya adalah pengembangan layanan kota berbasis teknologi tinggi dimana Kota Surabaya mulai menggunakan infrastruktur yang lebih canggih untuk menuju Smart City. Penggunaan TIK terus dikembangkan dengan beragam aplikasi dan layanan yang berbasis teknologi.
Pada perkembangannya Kota Surabaya memanfaatkan teknologi dalam semua dimensi (smart economy, smart people, smart governance, smart mobility, smart environment, dan smart living) untuk meningkatkan kinerja pemerintahan, mempermudah aktivitas, meningkatkan pelayanan dan kualitas hidup masyarakatnya.
Tiga indikator yang menonjol dari penerapan Smart City di Kota Surabaya adalah smart governance, smart living, dan smart environment. Smart governance mencakup partisipasi dalam pengambilan keputusan dimana publik atau masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, adanya Rencana Strategis TIK, dan penerapannya dalam Sistem Administrasi Kependudukan (SAK), Sistem Administrasi Perijinan (SAP), maupun dalam sistem monitoring wilayah publik. Smart living mencakup penyediaan fasilitas-fasilitas pendidikan seperti untuk penerimaan murid baru secara online, SIM, sekolah online, portal pariwisata, CCTV Pemantau Lalu Lintas, Traffic Management Center (TMC), kerja sama antar instansi dan swasta terkait e-Gov, dan fasilitas wifi gratis di tempat publik. Smart environment mencakup manajemen sumber daya berkelanjutan seperti Sistem Peringatan Dini Bencana/Early Warning System, Sistem Pengolahan Sampah dan Monitoring Air Berbasis TI.
Kota Surabaya dinilai berhasil dalam pengimplementasian konsep Smart City yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang terintegrasi.
Penerapan Smart City untuk Transformasi Pemerintahan dan Peningkatan Pelayanan Publik
Kota Pekalongan meraih banyak penghargaan dalam penerapan TIK. Salah satu penghargaan yang diraih oleh Kota Pekalongan adalah Innovative Regional Award (Pembangunan Berbasis Iptek) 2011 dari BPPT – Kemenristek.
Penerapan TIK di Kota Pekalongan didasarkan pada Road Map e-Gov 2008-2015. Road Map tersebut terbagi dalam dua gelombang. Gelombang I dilakukan pada kurun waktu 2008 – 2011 dengan membangun pilar-pilar e-gov yaitu kebijakan, regulasi kelembagaan, e-literacy (SDM, infrastruktur, aplikasi). Gelombang II dilakukan pada kurun waktu 2012 – 2015 dengan membangun Pekalongan sebagai Smart City, yang saling terintegrasi, fungsional, dan terhubung dengan jaringan broadband.
Prakarsa-prakarsa unggulan TIK Kota Pekalongan antara lain dalam penggunaan teknologi terbuka dalam e-Gov (Open Source Technology), penghematan penggunaan kertas di semua SKPD sampai ke tingkat kelurahan, penggunaan TIK lokal (LAN) fiber optic di semua SKPD sampai ke tingkat kelurahan, tata kelola dan kelembagaan TIK, dan intergrasi-interoperabilitas data-informasi.
Inovasi TIK yang dikembangkan oleh Kota Pekalongan adalah migrasi penggunaan TI ke legal software berbasis free open source software yang menjadikan Kota Pekalongan sebagai Kota Percontohan e-Gov berbasis open source oleh Kemenristek.
Dari penggunaan TIK tersebut, belanja pegawai Kota Pekalongan semakin berkurang. Pada umumnya belanja pegawai pemerintah daerah di Indonesia sebesar 60-70% dari APBD (2014), namun untuk Kota Pekalongan sebesar 50-an% pada tahun 2015 dan diharapkan di tahun berikutnya akan < 40%, sehingga anggaran untuk pelayanan publik akan semakin besar.
Faktor Keberhasilan dan Tantangan Smart City
Dari dua contoh penerapan Smart City di Kota Surabaya maupun Pekalongan, ada beberapa faktor keberhasilan utama yaitu kepemimpinan yang kuat, adanya perencanaan jangka panjang (rencana strategis atau road map), penataan kelembagaan, penyiapan dan peningkatan kapasitas maupun ketrampilan dari semua pemangku kepentingan (terutama aparat dan masyarakat), partisipasi publik mulai dari pengambilan keputusan/kebijakan sampai realisasi program, dan kerjasama antar pemerintah dengan semua pemangku kepentingan (masyarakat/NGO/swasta/dll).
Belajar dari Kota Surabaya dan Kota Pekalongan, proses menuju Smart City membutuhkan waktu persiapan yang relatip lama ( 4-5 tahun). Pada tahap penerapannya pun pemerintah daerah harus siap menghadapi perkembangan TIK yang berkembang cepat. Di sisi lain aplikasi-aplikasi yang dikembangkan harus didukung dengan data terkini (seperti untuk SIAK, SAP). Koordinasi antar lembaga menjadi suatu hal yang penting, sehingga data bisa tersedia lengkap dan valid sesuai kebutuhan.
Tantangan terbesar dari penerapan Smart City ini adalah tetap berorientasikan pada kebutuhan masyarakat dan keberlanjutannya, sehingga tujuan utama untuk peningkatan kualitas hidup bisa tercapai.
Penulis: MP. Dwi Widiastuti - Program Director YIPD - Ahli Pemerintahan dan Pelayanan Publik
Referensi:
2014. “Konsep Smart City untuk Kota-Kota di Indonesia”, Website Magister Perencanaan Kota
& Daerah Universitas Gadjah Mada, http://mpkd.ugm.ac.id/
kota-kota-di-indonesia/
2014. “Surabaya Smart City”, faysouwakil12.wordpress.com,ht
Hakim, Abdul. 2011. “Surabaya Raih Penghargaan Smart City 2011”, Antara Jatim.com, http://www.
Wijoyono, Elanto. 2014. “Resep Kota Pekalongan Membangun e-Gov” , Lumbung Komunitas,
http://lumbung.combine.or.id/
Wikipedia. “Smart City”, https://en.wikipedia.
0 komentar
belum ada komentar