Kepepet Tarif Internet
Jakarta - "Mas, isi pulsa dulu dong Rp 25.000, mau Facebookan dulu nih. Bayarnya besok ya (ngutang dulu)," demikian ujar seorang pengguna seluler di kawasan Jakarta kepada penjual pulsa yang masih kerabatnya.
Dulu, kasbon akrab dengan istilah ngutang di warung. Tapi kini, kasbon malah dipakai untuk membeli pulsa, yang penting bisa internetan. Demikian kira-kira segelintir potret pengguna seluler Indonesia akan dahaga dan ketergantungan mereka terhadap jendela dunia.
Internet bukan lagi barang mewah. Orang biasa yang kerjaannya cuma nongkrong di warung pun kini bisa membuka gudang informasi tanpa batas dari genggaman, cukup bermodal ponsel dan pulsa untuk berlangganan paket data.
Semakin merakyatnya internet terlihat dari trafik penggunaan layanan data selama musim mudik dan Lebaran kemarin. Telkomsel misalnya, operator seluler terbesar di Indonesia ini melaporkan bahwa layanan data mereka meningkat 140% jika dibandingan dengan periode yang sama di tahun 2014.
Kenaikan signifikan terkonsentrasi di area Jawa Bali (Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara, dan Bali) hingga lebih dari 166% disusul dengan area Pamasuka (Papua, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan) dengan kenaikan hingga 155% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu.
Lebaran juga ikut jadi momentum kebangkitan layanan data XL Axiata di saat terjadi penurunan besar-besaran di layanan voice dan SMS. Lonjakan trafik data XL dimulai pada dua hari menjelang Idul Fitri dibandingkan hari-hari biasa sebesar 11%. Sementara sebagai perbandingan dengan tahun sebelumnya, kenaikan trafik data pada Lebaran tahun ini di jaringan XL naik 41%.
Trafik data Indosat di hari H Lebaran pun melesat menjadi 596,46 TeraByte/hari, atau naik 30,60%, dibandingkan trafik data reguler pada hari biasa. Apabila dibandingkan dengan kondisi hari H Lebaran tahun 2014, maka trafik data meroket 232,36%
Demikian dengan Hutchison 3 Indonesia (Tri) yang juga mendapat berkah Lebaran dari sisi trafik data. Kenaikannya mencapai 22% dibandingkan hari biasa atau 126% dibandingkan Lebaran tahun lalu.
Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa geliat pengguna seluler akan konsumsi data lagi 'lucu-lucunya'. Tak heran jika seluruh operator satu suara akan masa depan industri telekomuikasi: yakni ada di data, bukan voice, apalagi SMS!
Aturan Main Tarif Data
Ironisnya, meski internet semakin merakyat, kenyataannya tarif data belum diatur oleh regulator. Sejauh ini baru SMS dan voice yang sudah ditentukan ambang batas atas dan bawahnya soal tarif yang dibebankan ke pelanggan.
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) I Ketut Prihadi Kresna pun mengakui hal ini. Ia menjelaskan, pembahasan tarif data rencananya baru akan dilakukan pada awal tahun 2016. "Sekarang, BRTI masih sebatas mengamati fenomena yang terjadi sembari mengumpulkan data-data dari semua operator," ujarnya saat dihubungi detikINET, Jumat (24/7/2015).
Lantaran belum ada pengaturan yang jelas soal tarif data ini, pengguna cuma bisa teriak saat tarif dirasa kemalahan. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Djali Gafur yang menggagas petisi online 'Internet Untuk Rakyat' di situs change.org.
Dalam petisi tersebut, Djali menilai skema 12 zona tarif data yang dilakukan Telkomsel memberatkan. Sebab setiap zona punya besaran tarif berbeda, dimana dalam hal ini membuat beberapa daerah di Indonesia Timur seperti NTT, Maluku dan Papua yang berada di zona 12 mendapat tarif yang lebih tinggi.
"Kita tinggal satu atap (Indonesia) kok makan dengan lauk dan menu yang berbeda. Katanya satu bahasa, satu nusa-bangsa, satu tumpah-darah. Tapi kok tarif internet rupa-rupa warnanya?" tanya Djali, dalam petisinya. Intinya di sini, Djali berharap Telkomsel menghapus kebijakan zona pada paket data internetnya, sehingga tarif paket data di NTT, Maluku dan Papua sama dengan kota-kota besar lainnya.
Gayung bersambut, ribuan pendukung Djali pun ikut menandatangani petisi tersebut. Ya, siapa sih yang gak mau tarif murah?
Hanya saja pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apa Telkomsel mau langsung mengubah skema tarif yang telah diformulasikannya tersebut? Tentu saja ini bukan persoalan mudah.
Apalagi untuk wilayah dengan skala ekonomi (economic of scale) yang kurang kuat -- seperti NTT, Maluku dan Papua -- operator pasti berhitung lebih dalam untuk urusan matematika bisnisnya. Tak heran di suatu wilayah yang dianggap 'kurang potensial' maka cuma satu-dua operator yang didapati sinyalnya.
Monopoli? Bukan! Industri telekomunikasi Indonesia sudah bukan lagi berada di era monopoli ataupun duopoli. Namun ini lebih ke soal keberanian! Ya, operator berani gak membangun infrastruktur jaringannya ke wilayah dengan skala ekonomi yang di atas kertas kurang menguntungkan? Tentu ada pertimbangan, mau sampai kapan balik modalnya (return on investment)?
Bahkan ada operator yang mengibarkan bendera putih -- dengan cara menghentikan operasional puluhan BTS di wilayah Ambon, Maluku dan Banda Naira -- karena tak kuat menahan kerugian hingga puluhan juta rupiah per BTS tiap bulan.
Terkait kasus tarif data Telkomsel yang dilaporkan penggunanya, Ketut pun melihat ini bak buah simalakama. Ketika tak ada operator lain mengekspansi wilayah yang kurang seksi maka Telkomsel berani berinvestasi meski tahu tak ada nilai ekonomisnya. "Namun karena investasinya besar mereka melakukan tarif per zona untuk layanan data guna menutupi pengeluaran. Karena jika dibandingkan dengan kota besar seperti Jakarta, nilai pembagi di Papua tentu berbeda, sehingga tarifnya juga tak bisa disamakan," kata Ketut.
0 komentar
belum ada komentar