Masalah Konseptual dan Legalitas Lelang Jabatan
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dibentuk dengan dasar pemikiran utama bahwa untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, pegawai ASN harus memiliki kompetensi profesional. Manajemen ASN dijalankan berdasarkan pada Sistem Merit. Dengan pemikiran tersebut, UU ASN mengatur bahwa promosi PNS dilakukan berdasarkan azas kompetensi, terbuka, dan tidak diskriminatif.
Pengaturan lebih lanjut mengenai promosi oleh UU ASN diperintahkan agar diatur melalui PP. Sampai sekarang PP tersebut belum terbit. Namun, atas pertimbangan untuk segera melaksanakan promosi berdasarkan UU ASN, Menteri PAN dan RB telah menentapkan Peraturan Nomor 13 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Secara Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah.
Dalam praktiknya, pengisian jabatan secara terbuka oleh Permen 13/2014 telah secara serampangan dipopulerkan sebagai "lelang jabatan" dan diterapkan oleh kementerian serta pemerintah daerah tidak terbatas pada jabatan pimpinan tinggi, tetapi juga untuk jabatan administrasi seperti jabatan camat, lurah, dan kepala sekolah. Setidaknya ini yang terjadi di pemda DKI Jakarta. Dari segi prosesnya, "lelang jabatan" selama ini berlangsung dalam waktu yang panjang. Sejak dari pengumuman sampai dengan penetapannya dibutuhkan waktu sekitar 3 sampai 5 bulan. Keadaan ini menyebabkan terjadinya kevakuman pejabat yang berwenang untuk membuat keputusan, selain juga berakibat biaya tinggi, terutama kalau yang akan diisi hanya satu atau dua jabatan saja.
Selanjutnya, praktik "lelang jabatan" yang dikelola oleh sebuah Panitia Seleksi juga telah mengecilkan peran kepala daerah dalam proses mutasi dan promosi PNS di daerahnya. Keadaan ini telah mengenyampingkan fungsi kepala daerah sebagai pengguna sekaligus pembina pegawai ASN. Padahal kepala daerah adalah pihak yang diasumsikan paling memahami kualifikasi, kompetensi, dan kinerja dari pegawai ASN yang dipimpinnya. Akibatnya terjadilah ketidakharmonisan dalam hubungan kerja antar pejabat di daerah.
Memperhatikan praktik "lelang jabatan" dikaitkan dengan kebutuhan untuk semakin efektif menerapkan sistem merit dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, saya mencatat beberapa hal penting sebagai berikut:
1. Penetapan Peraturan Menpan dan RB tentang pengisian jabatan tidak memiliki dasar legal sama sekali karena tidak diatur dalam UU ASN. Tidak ada satu pun pasal peralihan dalam UU ASN yang menyatakan bahwa sambil menunggu diterbitkannya PP sebagaimana diatur dalam UU ini, menteri yang berwenang di bidang aparatur negara dapat menetapkan Permen. Jadi, karena tidak ada klausul dalam UU yang membenarkan diterbitkannya Permen sambil menunggu lahirnya PP, maka dengan sendirinya bisa disimpulkan bahwa Permen PAN nomor 13/2014 itu tidak memiliki dasar hukum sama sekali alias illegal.
2. Penggunaan istilah "lelang jabatan" dalam lingkungan pemerintahan merupakan hal yang mutlak salah, baik secara terminologis maupun dalam praktik administrasi kepegawaian. Aktivitas "lelang" hanya berlaku dalam konteks jual beli dan sangat mengedepankan nilai keuntungan (profit). Dalam pemerintahan, pengisian jabatan selalu dalam konteks pelayanan publik dengan acuan utama pada kompetensi dan profesionalisme (merit system). Yang menjadi catatan keprihatinan saya adalah pemerintah sama sekali tidak pernah mengoreksi penggunaan istilah "lelang jabatan" yang terus beredar di media massa dan di berbagai forum publik. Ada semacam pembiaran atas sesuatu yang salah, sehingga citra birokrasi pemerintahan terciderai terus menerus.
3. Dalam praktik administrasi modern dikenal adanya "open career system" yang salah satu wujudnya adalah "open recruitment." Penerapan sistem karier terbuka ini umumnya dibatasi hanya untuk jabatan tertentu yang memerlukan kompetensi keahlian dan integritas kepribadian tinggi. Persyaratannya dirumuskan secara rinci dan metode penetapannya dilakukan secara terbuka. Prosesnya dimulai dengan seleksi secara administrasi, penulisan makalah, presentasi, uji kompetensi, dan uji psikologis.
4. Berdasarkan pemaknaan sistem karier terbuka tersebut, maka pemberlakuan pengisian jabatan secara terbuka "untuk semua jabatan" dalam pemerintahan adalah sesuatu yang tidak lazim dan karena itu tidak tepat. Dalam birokrasi pemerintahan, faktor pengalaman, prestasi, kesetiaan, dan kepangkatan tidak dapat dikesampingkan, dan merupakan faktor penentu dari pengembangan pola karier pegawai. Semua penilaian atas kompleksitas faktor-faktor tersebut dalam diri setiap pegawai hanya dapat diketahui dan dinilai oleh atasan langsung secara bertingkat. Oleh karena itu, penerapan pengisian jabatan secara terbuka untuk "semua jabatan" yang proses seleksinya dilakukan oleh sebuah tim seleksi yang merupakan personalia yang datang dari luar akan berpotensi merusak pola karier pegawai.
5. Dalam pelaksanaan pola karier pegawai berdasarkan pengalaman, prestasi, dan kesetiaan, penilaian atasan langsung dan rekomendasi atasan dua tingkat di atasnya merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan. Pengabaian terhadap faktor tersebut dapat berimplikasi pada terjadinya ketidakserasian pelaksanaan tugas di lingkungan kerja, yang selanjutnya menyebabkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan.
6. Kesalahan fatal dalam penerapan lelang jabatan selama ini terletak pada 3 hal, yakni:
a. Diberlakukan untuk semua jabatan, dan bukan hanya untuk jabatan tertentu yang memerlukan kompetensi keahlian dan integritas kepribadian yang tinggi. Akibatnya, dengan proses yang relatif panjang, maka banyak daerah yang mengalami kevakuman pejabatnya, yang kemudian memunculkan masalah lain, seperti gangguan dalam kelancaran pengelolaan anggaran dan kelambatan pengambilan keputusan strategis dalam pelaksanaan tugas.
b. Sejauh ini pemerintah belum membuat acuan tentang standar kompetensi teknis untuk jabatan-jabatan yang dilelang yang berlaku secara nasional. Akibatnya terjadi variasi standar antar daerah, dan sekaligus ketidakpastian dalam menilai kelayakan standar yang digunakan oleh setiap daerah.
c. Sistem seleksi tidak mengikuti prosedur yang berlaku dalam praktik administrasi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Misalnya untuk presentasi calon, penilaiannya bukan hanya dilakukan oleh pansel, tetapi juga oleh para ahli yang diundang untuk hadir sebagai pihak yang mempunyai otoritas menilai secara profesional. Selain itu, pembentukan pansel juga cenderung belum sepenuhnya bersifat objektif.
Berdasarkan catatan di atas, maka untuk proses pengisian jabatan-jabatan strategis perlu memperhatikan saran-saran sebagai berikut:
1. Pelaksanaan rekrutmen terbuka dan pengisian jabatan secara terbuka sebaiknya hanya diberlakukan untuk jabatan pimpinan tinggi strategis yang didefinisikan secara jelas dan rinci, baik di tingkat nasional maupun daerah. Khusus untuk lingkup pemerintah daerah, jabatan dimaksud antara lain adalah jabatan Sekretaris Daerah, Kepala Dinas yang mengelola 6 urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, sosial, tramtib, dan perumahan) dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah.
2. Pengisian jabatan pimpinan tinggi non-strategis, serta pengisian jabatan administrasi dan jabatan fungsional sebaiknya berpijak pada pertimbangan pengembangan pola karier pegawai yang bersifat umum yang selama ini sudah dijalankan melalui Baperjakat. Untuk itu, kepala daerah harus tetap memegang kewenangan menyeleksi calon dan membuat keputusan akhir dalam pengisian jabatan tersebut. Keterlibatan pihak luar dalam pansel sifatnya mendukung dan merekomendasikan saja.
3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar segera membangun sistem informasi ASN sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU ASN. Dengan terbangunnya sistem informasi ASN, proses pengisian jabatan dapat disederhanakan, terutama yang berkaitan dengan persyaratan administratif dan data kompetensi manajerial calon.
4. Penilaian mengenai kompetensi teknis bidang sesuai jabatan sebaiknya melibatkan para ahli dalam bidang yang bersangkutan, dan bukan oleh pansel seperti yang berlaku saat sekarang.
Sumber : Oleh: Prof. M. Ryaas Rasyid, MA. PhD
Sumber : http://m.otonominews.com/read/3515/Masalah-Konseptual-dan-Legalitas-Lelang-Jabatan