Indeks Persepsi Korupsi RI Stagnan, KPK Gagal?
– Transparency International, lembaga swadaya masyarakat yang memonitor korupsi secara global, awal Desember 2013 ini kembali mengeluarkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) terbaru. CPI mengukur tingkat persepsi korupsi di sektor publik yang dilakukan oleh pejabat dan politisi di berbagai negara. Ada 177 negara yang masuk dalam survei ini.
Penilaian CPI menggunakan sistem peringkat serta skor dari 0 sampai 100. Skor 0 diberikan untuk negara yang dipersepsikan sangat korup, sedangkan skor 100 disematkan untuk negara yang dianggap bebas korupsi. Dari 177 negara, peringkat nomor satu ditempati oleh negara yang dipersepsikan paling bersih dari korupsi, sementara urutan terakhir ditempati oleh negara yang dianggap paling korup.
Berdasarkan sistem ini, Indonesia menduduki peringkat 114, naik empat peringkat dari tahun 2012 di mana RI berada di peringkat 118. Tapi tunggu dulu, naik peringkat bukan berarti pemberantasan korupsi di Indonesia tahun ini dianggap lebih sukses, sebab ternyata skor CPI Indonesia tak berubah dari tahun lalu, yakni 32. Angka ini termasuk rapor merah karena berada di bawah standar global.
Skor CPI diukur dari efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Lantas apakah keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi beserta segala aksinya dalam menangkap para koruptor di republik ini tak ada artinya? Tidak demikian.
“Dari skor 32 yang diperoleh Indonesia, sesungguhnya ada peningkatan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi oleh KPK. Yang stagnan ini banyak berkaitan dengan sektor politik dan perizinan. Ini yang membuat skor indeks persepsi korupsi RI tidak beranjak,” kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, 3 Desember 2013.
TII dalam dokumen yang dirilisnya menyatakan, setahun belakangan ini KPK berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi di sektor strategis. Di sektor hukum, KPK menangkap mantan Ketua MK Akil Mochtar atas kasus suap-menyuap penanganan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. KPK juga tak segan menyasar korupsi di Mahkamah Agung dengan menangkap Hakim Kartini dan kawan-kawan.
KPK bahkan menangkap mantan Kepala Korps Lalu Lintas Mabes Polri yang juga mantan Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang terlibat korupsi pengadaan simulator SIM. Kejaksaan pun tak luput dari bidikan KPK. Jaksa Sistoyo ditangkap KPK dalam kasus suap.
Korupsi di sektor politik tak lepas dari pengamatan KPK. Lembaga pemberantasan korupsi RI itu menangkap anggota DPR Nazaruddin, Wa Ode Nurhayati, Zulkarnaen Djabar, Angelina Sondakh, dan mantan Menpora Andi Mallarangeng. Sementara terkait korupsi di sektor bisnis, KPK mencokok mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, Ahmad Fathanah, dan pengusaha Hartati Murdaya.
Tak pelak publik tanah air optimistis dengan kinerja KPK. Sayangnya itu semua belum cukup untuk mendongkrak skor dalam indeks persepsi korupsi RI. Penyebabnya, praktik korupsi dan suap di lembaga-lembaga publik masih tinggi.
Global Corruption Barometer 2013 menunjukkan, 1 dari 3 orang yang berinteraksi dengan penyedia layanan publik di Indonesia masih melakukan suap dengan berbagai alasan. Ini diperparah dengan lemahnya koordinasi antarlembaga pemerintah.
TII menganggap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum optimal dalam mendorong program Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Program itu belum menyentuh sektor politik dan sektor-sektor strategis lainnya seperti peradilan dan lembaga pelayanan publik.
Lebih buruk dari Singapura-Malaysia
Sekjen TII Dadang Trisasongko mengatakan, indeks persepsi korupsi ini dibuat untuk memberikan kesadaran akan posisi Indonesia dalam pemberantasan korupsi global, dan guna mendorong pencegahan dan pemberantasan korupsi di tanah air.
Di kawasan Asia Pasifik, Indonesia terlihat masih jauh di bawah Singapura yang memperoleh skor 86, Hong Kong dengan skor 75, Taiwan dengan skor 61, Korea Selatan dengan skor 55, dan China dengan skor 40.
Sementara di ASEAN, Indonesia jauh di bawah Brunei Darussalam yang meraih skor 60, dan Malaysia dengan skor 50. Indonesia juga sedikit di bawah Filipina yang memperoleh skor 36, dan Thailand dengan skor 35. Namun Indonesia sedikit lebih baik dari Vietnam yang mendapat skor 31, Timor Leste dengan skor 30, Laos dengan skor 26, dan Myanmar dengan skor 21.
Singapura merupakan negara Asia yang menempati peringkat teratas dalam Indeks Persepsi Korupsi (ICP) dengan skor 86. “Singapura adalah negara yang memiliki birokrasi efisien, efektif, dan bersih sehingga memudahkan tumbuhnya dunia usaha. Kualitas birokrasi Singapura jelas jauh melebihi Indonesia,” kata Dadang, Kamis 5 Desember 2013.
Pemberantasan korupsi bahkan bukan lagi menjadi prioritas utama Singapura. Fokus mereka kini merawat dan terus meningkatkan kualitas birokrasinya. Duta Besar Singapura untuk Indonesia, Anil Kumar Nayar, dalam wawancaranya beberapa waktu lalu dengan VIVAnews mengatakan negaranya tidak menolerir tindakan korupsi (Baca selengkapnya di sini).
Di atas Singapura, peringkat teratas dalam ICP ditempati oleh Denmark dan Selandia Baru dengan skor 91, Finlandia dan Swedia dengan skor 89, serta Norwegia dengan skor 86. “Negara-negara ini jelas memperlihatkan bahwa transparansi mendukung akuntabilitas dan mengentikan korupsi,” kata Ketua Dewan Transparency International, Huguette Labelle, seperti dilansir transparency.org. (Baca juga Mengapa Denmark Paling Rendah Korupsinya).
Labelle mengatakan, korupsi di sektor publik dan penegakan hukum tetap menjadi salah satu tantangan terbesar di dunia. Ia pun meminta partai politik, kepolisian, dan sistem peradilan di berbagai negara harus lebih terbuka dan transparan terkait pekerjaan mereka dan cara mereka mengambil kebijakan.
Transparency International mengingatkan, upaya pemberantasan korupsi tidak akan berjalan maksimal tanpa kemauan politik dari pemerintah masing-masing negara dalam menekan korupsi. “Ini waktunya menghentikan orang-orang yang korup,” ujar Labelle.
Kritik KPK
Komiisi Pemberantasan Korupsi RI menyatakan, survei Transparency International tersebut amat bermanfaat. Namun KPK mengkritik sistem persepsi yang digunakan sebagai acuan dalam penyusunan indeks tersebut. Indeks Persepsi Korupsi ini dianggap tidak bisa menjadi acuan untuk menilai kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Ini karena indeks itu menggambarkan persepsi orang. Secara metodologi memang oke, tapi tidak bisa dipakai untuk menjustifikasi semua upaya pemberantasan korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Jakarta.
Meski skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di bawah standar global, Bambang yakin pemberantasan korupsi di Indonesia akan berhasil. “Saya optimistis kita pasti bisa. Kita tidak boleh berhenti bermimpi, tapi harus dibarengi usaha yang kuat,” kata dia.
Sementara itu, TII mengingatkan pemerintah, partai politik, dan calon anggota legislatif terkait risiko korupsi politik yang meningkat menjelang Pemilu 2014. “Perlu ada pengawalan terhadap isu dana kampanye dan integritas kandidat wakil rakyat,” ujar Dadang. Masyarakat diminta lebih kritis dan terlibat aktif mengawasi proses-proses politik agar tahapan pemilu berjalan transparan dan akuntabel.
“Sektor politik harus menjadi prioritas karena korupsi politik menjadi faktor pendongkrak sekaligus penjerumus Indeks Persepsi Korupsi suatu negara, termasuk Indonesia,” ujar Dadang. Oleh sebab itu TII merekomendasikan penguatan integritas parlemen dan partai politik pada ranah penegakan etik, pencegahan korupsi, transparansi, dan akuntabilitas publik.(np)
Sumber : http://fokus.news.viva.co.id/news/read/464088-indeks-persepsi-korupsi-ri-stagnan--kpk-gagal-