Indonesia Akan Ciptakan 1000 Digital Enterpreneur
Jakarta - Indonesia dalam lima tahun terakhir selalu jadi top 5 negara pengguna Facebook terbesar dunia. Dua dari kota di Indonesia, Jakarta dan Bandung, selalu masuk top 10 kota di dunia yang penduduknya paling aktif di Twitter. Indonesia juga jadi negara yang paling cepat pertumbuhannya di YouTube.
"Apakah kita harus bangga? Kalau jawabannya iya, berarti ada yang salah dengan negara ini. Kita harusnya bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara.
Selama bertahun-tahun, Indonesia cuma dijadikan pasar oleh pihak asing. Tanpa sadar, bahkan dengan sukarela, kita membuat negara lain semakin kaya. Indonesia harusnya bisa lebih dari itu. Menurut Rudiantara, caranya adalah kita harus terlebih dulu mengubah pola pikir.
"Kita jangan mau cuma jadi penonton, bangga jadi penggembira. Kita juga bisa jadi pemain. Tak sekadar pemain biasa, tapi kita bisa jadi pemain terbesar di Asia Tenggara dalam bidang digital ekonomi," ujarnya.
Dalam setahun terakhir saja nilai bisnis atau perputaran uang di bisnis e-commerce Indonesia mencapai USD 12 miliar. Padahal itu belum diregulasi dan masih jalan sendiri-sendiri. Bayangkan, betapa besarnya bisnis ini jika dikelola dengan baik secara bersama-sama oleh seluruh stakeholder.
Dalam empat tahun ke depan atau tahun 2020, bisnis e-commerce di Indonesia bisa meningkat 10x lipat, menembus valuasi USD 130 miliar. Bisnis e-commerce bisa memberikan multiplier effect: meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan pengusaha lokal baru, membuka lapangan pekerjaan baru dan menggerakkan roda perekonomian bangsa.
"Ini bukan sekadar mimpi. Bukan cuma angan-angan yang muluk. Ini mimpi yang bisa kita wujudkan bersama. Data yang kami sampaikan bukan tanpa perhitungan matang. Ada kalkulasinya. Namun untuk bisa menuju ke sana, kita perlu peta jalan. Sebuah roadmap yang akan jadi panduan untuk kita semua," kata Menteri.
Untuk mengembangkan e-commerce, Kementerian Kominfo tak bisa jalan sendiri. Gerakan ini harus multi-kementerian karena melibatkan banyak hal. Mulai dari kesiapan infrastruktur jaringan telekomunikasi, logistik, pendanaan, pajak, keamanan, proteksi pelanggan, edukasi, ekonomi kreatif, sampai ke payment gateway.
Akhirnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengkoordinasikan kementerian dan instansi setingkat terkait untuk membuat roadmap e-commerce. Kerjasama ini melibatkan Kementerian Kominfo, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Koperasi dan UKM, Bank Indonesia, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Badan Ekonomi Kreatif.
Selain itu, unit kerja terkait dari kementerian/lembaga, asosiasi, dan para pelaku industri e-commerce juga dilibatkan untuk ikut mendukung roadmap ini. Di antaranya adalah Ditjen Pajak, Pos Indonesia, Asperindo, asosiasi e-commerce (idEA), hingga startup inkubator dan pemodal ventura.
Ada banyak elemen multistakeholder yang dilibatkan dalam roadmap untuk program digital ekonomi ini. Konsultan kaliber dunia - Ernst & Young pun dilibatkan secara pro bono. Ernst & Young mengerahkan tenaga ahli multi disiplin mereka dari regional dan global.
Kenapa kita butuh roadmap e-commerce? Amerika Serikat mulai mengembangkan bisnis e-commerce sejak awal tahun 2000. Namun, pertumbuhannya di sana lebih didorong oleh pasar. Tahun 2014 kemarin, nilai bisnis e-commerce di negara itu mencapai USD 306 miliar.
Sementara itu Tiongkok menghasilkan nilai transaksi bisnis e-commerce sebesar USD 426 miliar di tahun 2014. Dalam empat tahun terakhir, Tiongkok terus tumbuh pesat hingga sekarang bisa melebihi Amerika Serikat.
Seperti kata Jack Ma, pendiri Alibaba – portal e-commerce terbesar di Tiongkok, "Di negara lain, e-commerce itu cuma cara lain untuk berbelanja. Tapi di Tiongkok, itu sudah jadi gaya hidup."
Kenapa di Tiongkok e-commerce bisa tumbuh pesat dan menjadi gaya hidup? Setelah kita pelajari, Tiongkok pada pada tahun 2011 menggelontorkan apa yang disebut sebagai "The National e-Commerce Roadmap". Peta jalan ini dibuat sebagai rencana pengembangan bisnis jual-beli online mereka selama lima tahun.
"Pemerintah Tiongkok bukan sekadar mengeluarkan regulasi saja. Tapi diorkestrakan. Digerakkan bersama. Hasilnya, hanya dalam empat tahun mereka berhasil menyusul Amerika Serikat," kata Menteri Rudiantara.
"Kita tak perlu ambil detailnya dari Tiongkok. Tapi kita lihat, bagaimana pendekatan mereka. Bagaimana pemerintahan Tiongkok bisa kompak. Itu yang bisa kita tiru, pendekatan supaya Indonesia bisa quantum leap. Kita harus kompak, bahwa obyektif kita sama-sama untuk menuju ke sana," lanjutnya.
Potensi industri e-commerce di Indonesia memang tak dapat dipandang sebelah mata. Dari data analisis Ernst & Young, pertumbuhan nilai penjualan bisnis online di tanah air setiap tahun meningkat 40%. Bayangkan saja ada sekitar 93,4 juta pengguna internet dan 71 juta pengguna perangkat telepon pintar.
Apalagi saat ini e-commerce sedang naik daun. Masyarakat kota-kota besar di tanah air menjadikan e-commerce sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Jumlah kelas menengah Indonesia yang mencapai puluhan juta orang memiliki perilaku konsumtif menjadi alasan mengapa e-commerce di Indonesia akan terus berkembang.
"Dengan besarnya potensi itu, tinggal bagaimana kita mengelolanya saja agar Indonesia bisa menjadi pemain terbesar di Asia Tenggara dalam bidang digital ekonomi. Itu sebabnya, kita juga harus menciptakan 1.000 digital entreprenuer di tahun 2020," pungkas Rudiantara.
0 komentar
belum ada komentar