Riset pengembangan obat baru berbasis SDA
Riset pencarian dan pengembangan obat baru dalam industri farmasi nasional banyak mengalami tantangan. Maraknya pemalsuan obat akhir-akhir ini mengindikasikan lemahnya pengawasan produksi obat dan seretnya hasil riset obat baru dalam riset drug discovery. Perang melawan penyakit merupakan perlombaan yang amat menegangkan. Jika tidak dapat ditemukan metode pembuatan obat yang efisien, manusia akan dikalahkan oleh mewabahnya varian bibit penyakit. Sejak beberapa dekade terakhir ini disadari bahwa manusia akan semakin sulit untuk memenangkan perang melawan bibit penyakit. Pada saat virus HIV belum berhasil ditemukan vaksin dan obat anti-retroviral yang ampuh, tiba-tiba virus flu burung datang menyerang dan menjadi pandemi. Demikian juga, ketika para pakar kesehatan berjuang memberantas malaria, tiba-tiba muncul penyakit TB varian baru dengan beragamnya mutasi yang kebal antibiotika.
Kepulauan nusantara sebagaimana diketahui, memiliki kekayaan biodiversitas dan sumber daya alam yang melimpah. Selain itu, dengan populasi yang besar, pasar industri farmasi di Indonesia sangat potensial. Industri farmasi sudah cukup lama dikembangkan di Indonesia, namun sebagai sebuah industri belum mendapatkan porsi perhatian yang memadai. Kegiatan riset dan pengembangan (Research and Development/R&D) mencakup kegiatan pengembangan ilmu yang dilakukan oleh para ilmuwan sangat memerlukan dana riset yang cukup besar dan merupakan investasi jangka panjang. Diharapkan melalui riset yang dilakukan akan menghasilkan portofolio berupa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Intelectual Property (IP). Setelah melakukan inovasi-inovasi oleh para ahli rekayasa atas hasil-hasil yang didapatkan para saintis yang biasanya berupa publikasi-publikasi di jurnal-jurnal ilmiah kelas dunia. Sedangkan industri bioteknologi merupakan kegiatan lanjutan dari R&D, yaitu mengkomersialisasikan portofolio IP dan tentu saja melibatkan entrepreneur handal. Namun perlu diingat bahwa untuk dapat menjadi suatu kegiatan Industri suatu IP haruslah melalui tahapan inkubasi atau start-up company.
Salah satu model mengenai keterkaitan antara R&D dan Industri farmasi telah dibuat oleh suatu institusi bisnis, seperti di Eropa bernama EMBLEM (European Moleculer Biology Laboratory Enterprise Management) Technology Transfer. Dalam model tersebut, EMBL melakukan kegiatan R&D yang akan menghasilkan IP dan EMBLEM merupakan institusi bisnis yang akan mengkomersialisasi portofolio IP tersebut. Selanjutnya bersama-sama dengan suatu lembaga keuangan modal ventura dan menyediakan fasilitas oleh lembaga yang sudah mempunyai infrastruktur industri. EMBLEM akan mendirikan suatu start-up company dengan struktur kepemilikan bersama. Disamping itu, EMBLEM juga akan dapat langsung menjual atau melisensi suatu IP kepada pihak ketiga. Sebagai negara yang mempunyai semua potensi: SDA dan SDM, kita dapat mengadopsi sistem ini untuk pengembangan industri farmasi nasional untuk kemakmuran bangsa.
Industri farmasi/bioteknologi menjanjikan kemajuan di bidang obat antara lain untuk memerangi kanker, penyakit Alzheimer-Parkinson, diabetes, penyakit jantung, AIDS, dan lain-lain. Di samping itu perkembangan di bidang terapi gen memberikan harapan penyembuhan bagi penyakit yang disebabkan oleh gen yang cacat ataupun tidak berfungsi. Dari segi lain, di bidang pertanian perkembangan bioteknologi mengarah terutama kepada pengembangan bahan tanaman tahan penyakit ataupun hama serta bahan tanaman yang berkualitas tinggi seperti padi yang mampu memproduksi vitamin A ataupun pisang yang mengandung vaksin hepatitis, dan masih banyak manfaat lainnya.
Membandingkan perkembangan bioteknologi dunia dan Indonesia, seharusnya menggugah kita akan ketertinggalan dan kesenjanggan yang cukup lebar. Padahal jika bioteknologi dikembangkan dengan baik maka akan memberikan konstribusi positif bagi industri farmasi nasional. Terdapat dua pilihan ekstrim dihadapan kita apabila diinginkan bioteknologi dikembangkan, khususnya dalam hal ini adalah industri farmasi nasional pada sektor ekonomi Indonesia. Pilihan pertama mengembangkan R&D bioteknologi dan menghasilkan portofolio IP berkelas internasional dan dilanjutkan dengan mendirikan industri farmasi atas hasil tersebut. Tentu saja pilihan ini sangat ideal, membutuhkan investasi besar, memerlukan sumber daya pilihan, dan hasilnya tidak bisa diharapkan dalam waktu singkat. Pilihan kedua adalah membeli atau melisensi portofolio IP yang berasal dari Negara maju dan mendirikan industri farmasi. Pilihan kedua ini mungkin saja dapat membantu berkembangnya industri farmasi nasional namun dengan resiko kebergantungan kita yang tinggi pada pihak asing.
Dewasa ini untuk mengembangkan satu macam obat, mulai dari pencarian unsur aktif berbasis sumber daya alam nusantara, proses riset, uji coba sampai dapat dijual di pasaran, rata-rata diperlukan waktu 15 tahun. Terlalu lama untuk mengatasi penyakit mematikan, yang dapat mengalami mutasi setiap pergantian musim. Contoh paling ekstrim adalah kasus flu burung. Penyakit mematikan ini seolah-olah muncul begitu saja dari peternakan unggas dan babi di Asia, kemudian melompat menyerang dan membunuh inang baru, yaitu manusia.
Jika tetap menggunakan metode klasik pembuatan obat, manusia akan kalah oleh mikroorganisme pembunuhnya. Karena itu sejak beberapa tahun terakhir para pakar menggunakan pendekatan baru, yakni pengembangan obat dengan cara rekayasa genetika dan biologi molekuler. Didukung dengan pengembangan chips komputer generasi baru, metode tersebut diharapkan dapat mempercepat pengembangan obat-obatan baru.
Konsep dasar dari teknologi yang disebut farmako-genetika itu adalah pemanfaatan biochips berkinerja tinggi, konfigurasi DNA serta chips yang dikembangkan untuk memilah unsur aktif, apakah bersifat racun bagi tubuh manusia atau tidak. Dengan begitu dapat dilakukan ujicoba genom secara akurat. Sebab disadari bahwa sifat genetika di antara populasi dapat bervariasi. Jadi pendekatannya adalah mengembangkan obat baru berdasarkan konfigurasi spesifik genetika. Biochips memungkinkan pemetaan karakteristik dari jaringan yang amat rumit interaksi antar gen.
Pencarian unsur aktif hanyalah bagian awal dari penelitian dan pengembangan obat-obatan baru. Banyak unsur aktif, yang setelah menjalani penelitian panjang dan biaya mahal, ternyata tidak dapat dijadikan bahan obat. Seperti dilaporkan oleh aliansi ilmu-ilmu sains dari Institut Fraunhofer, dari lima ribu senyawa baru yang diteliti, hanya lima senyawa yang biasanya dapat lolos ke tahapan uji klinik. Dari lima senyawa diuji klinik, hanya satu yang lolos untuk dijual sebagai obat komersial.
Masalah lainnya dari pengembangan obat baru adalah, bagaimana caranya memproduksi obat eksperimental secara ekonomis dalam jumlah yang cukup untuk uji klinik. Terlebih lagi dalam kasus obat baru yang dibuat dengan cara rekayasa genetika. Proses produksinya memerlukan peralatan amat canggih dan membutuhkan biaya sangat besar. Dalam metode pengembangan cara pengobatan baru, sel memainkan peranan kunci yang amat menentukan. Sebab semakin diketahui bahwa unsur aktif obat-obatan bekerja di tingkat molekuler. Akan tetapi sayangnya hingga kini, belum semua mekanisme di tingkat molekuler dapat dimengerti, bagaimana inter-relasi antara aktivitas gen, proses fisiologi dan penyakit.
Walaupun para peneliti terus melakukan kerja tidak kenal lelah untuk menemukan obat-obatan baru dengan dampak samping minimal, akan tetapi kendala masih terus menghadang. Dengan berkembangnya rekayasa genetika, ini semakin disadari, efek obat-obatan tidak sama pada setiap individu. Membuat obat generik saja sudah sulit, apalagi obat yang dapat disesuaikan dengan karakteristik individu. Di sisi lain industri farmasi dipaksa untuk menekan ongkos produksi agar obat yang dibuatnya juga laku di pasaran.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan betapa pengembangan Industri farmasi/bioteknologi memberikan konstribusi secara ekonomi yang sangat fantastis dan masif. Jika saja negara kita mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap pengembangan Industri farmasi maka akan mendatangkan trilyunan rupiah per tahun dan bermanfaat bagi pembangunan kesehatan masyarakat kita ke depan. Selain itu juga sektor ini juga menjanjikan penyerapan tenaga kerja yang luar biasa banyaknya. Sangat disayangkan memang, dana riset yang diberikan pemerintah untuk riset-riset yang terkait farmasi dan bioteknologi sangat terbatas dan jauh dari mencukupi. Hal ini diperparah dengan tidak adanya dana untuk memperbaharui infrastruktur laboratorium riset kita yang memang sudah jauh tertinggal. Selain itu, tidak adanya prioritas pembangunan infrastruktur memadai dan mutakhir pada lembaga-lembaga riset nasional menjadikan negara kita semakin tertinggal dalam mengikuti kemajuan industri farmasi/bioteknologi dunia.
Yohanis Ngili
Dosen Kimia Universitas Cenderawasih
0 komentar
belum ada komentar