Uniknya Noken Anggrek
Di seluruh dunia tentu saja memiliki berbagai keunikan dalam kebudayaan-kebudayaan setempat. Salah satu warisan budaya yang tidak dikenal oleh sebagian dunia maupun di Indonesia adalah noken, noken secara khusus lagi yaitu noken anggrek. Noken adalah tas tradisional yang digunakan untuk mengisi berbagai kebutuhan, binatang dan sseorang manusia bagi orang Mee di Meuwo (Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai dan Kabupaten Dogiyai).
Noken dalam bahasa suku Mee adalah Agiya. Sedangkan noken anggrek merupakan tas tradisional orang-orang Mee untuk mengisi, menyimpan dan menyelamatkan barang-barang yang memiliki nilai, makna, identitas, jati diri dan lainnya.
Noken anggrek dalam bahasa suku Mee adalah Toya Agiya. Toya Agiya ini hanya digunakan oleh seorang Tonowi (Big Man) yang memiliki kekuasaan, kekayaan, babi banyak, istri banyak, pandai berpidato dan lainnya dalam masyarakat Mee.
Hanya masyarakat Mee secara khusus laki-laki sajalah yang dapat noken menganyam noken anggrek tersebut, tetapi jenis noken lainnya biasa dianyam oleh perempuan pada umumnya yang menyimbolkan kesejatian perempuan Mee.
Perempuan Mee biasa menganyam noken pada saat isterahat di rumah, di hutan dan di tempat kerja serta dalam perjalanan untuk mengisi waktu kosong sepanjang hidup mereka. Mereka menganyam noken anggrek dengan teknik kreatif yang tinggi untuk menjadikan sebuah noken dengan melalui beberapa proses.
Proses pembuatan noken anggrek
Awal kegiatan adalah menyiapkan semua bahan atau peralatan yang diperlukan seperti pisau kecil berfungsi untuk serut kulit kayu luar khusus yang disebut Epiyo dan parang berfungsi untuk memotong dahan kayu Epiyo. Selain itu juga, kulit kayu Epiyo yang lapisan kedua dari kulit kayu “diserat’’ ambil serat-serat tersebut untuk digunakan memintal-pilan-memilan untuk di buat tali.
Sehabis mengambil serat kulit kayu Epiyo yang lapisan kedua itu harus mengeluarkan air yang ada di dalamnya sampai kering. Caranya memukul di atas batu atau di pohon besar sampai terlihat kering keputihan supaya proses selanjutnya bisa dijemur di mata hari atau dijemur di dalam rumah honai (rumah adat) yang ada tungku api sampai benar-benar kering dan terlihat warna putih atau memunculkan warna aslinya.
Proses selanjutnya adalah kulit kayu Epiyo yang diambil itu adalah serat kulit kayu yang di dalam yang sudah kering itu dibela kecil-kecil sesuai ukuran noken. Setelah itu, saling memilin atau dipilin (memintal) di atas paha kaki pengrajin noken supaya menjadi sebuah tali yang panjang dan siap dirajut akan tersirat membentuk mata jala (serat-memintal-saling memilin, kedua bergulungan-rajut sama dengan jaring-jaring, jala-jala yang mau disirat disamakan hingga simpul tali yang membentuk mata jala).
Setelah semuanya terbentuk menjadi tali panjang akan siap dianyam menjadi “noken” oleh pengrajin noken yang merupakan tahap siap dijual di pasar dan tahap pembuatan noken sesuai ukuran noken yang mau dianyam.
Selanjutnya semua proses di atas menjadi tali panjang yang diap dianyam noken. proses selanjutnya adalah pembuatan anggrek. Anggrek tumbuh di pohon-pohon besar maupun di atas kayu yang berlumut, yang sudah busuk dan dapat diambil bebas biasa di alam. Proses pembuatan noken anggrek memerlukan waktu sampai terbentuk sebuah bentuk ukuran yang harus dibuat seperti bujur sangkar atau empat persegi panjang.
Proses yang dilakukan oleh para pengrajin noken anggrek adalah pertama-tama menyediakan bahan-bahan seperti pisau, silet dan lainnya, kemudian mengambil batang anggrek tua yang sudah disiapakan untuk dibelah dan diserut lalu diambil kulit luarnya dari batang anggrek tersebut. Hal ini berbeda dengan kulit kayu Epiyo yang diambil adalah serat kulit kayu yang di dalam, setelah itu saling memilin atau diplin (memintal) menjadi sebuah tali yang panjang dan siap dirajut akan tersirat membentuk mata jala. Seusai mengambil kulit luar anggrek yang sudah tua dan berwarna kuning atau coklat atau hitam dan lainnya, ini akan dililit atau diguling dengan tali panjang yang sudah siap dianyam tersebut hingga siap menjadikan atau menyamnya menjadi “noken anggrek”.
Maka kegiatan akhir adalah proses pembuatan noken yang memerlukan waktu sampai terbentuk sebuah bentuk ukuran yang harus dibuat. Bentuk noken yang dibuat adalah bujur sangkar atau empat persegi panjang dan bentuk ukuran yang akan dibuat itu sudah ada dalam pemikiran pengrajin noken. Sesuai dengan bentuk dan jenis noken supaya bisa dibedakan: noken besar (Goyake Agiya) dan noken kecil (Tikiniyake Agiya) serta noken umum dan noken pribadi. Karena noken anggrek pribadi tidak bisa dilihat dan dimiliki oleh orang lain kecuali pemilik noken itu sendiri, sehingga sangat sulit untuk mengetahui seluruh kebutuhan yang diisi di dalam noken anggrek dengan larangannya tersendiri.
Menurut Titus Kristoforus Pekei sebagai pencetus noken Papua mengatakan bahwa noken menyimpan makna kehidupan, makna kesejahteraan, makna sosiologis, makna antropologi, makna filosofi, makna psikologis dan berbagai makna yang dimiliki pada noken itu sendiri.
Sedangkan kata pastor Neles Kebadabi Tebay bahwa noken memiliki sifat-sifat dan karakter dari dirinya serta noken sebagai simbol. Selain itu, ia mengatakan bahwa noken mengandung nilai-nilai universal yang dihidupi dan diperjuangkan oleh para pengrajin noken ini.
Noken anggrek menyimpan keanekaragaman makna dan nilai. Nilai dan makna yang diisi dan disimpan dalam noken adalah nilai kerohanian, nilai kebudayaan, nilai spiritulitas, nilai kehidupan, nilai keselamatan, nilai kesejahteraan, nilai kedamaian, nilai simbol. Nilai dan makna memperlihatkan keunikan noken anggrek sepanjang zaman.
(*Oleh Silvester Bobii - Penulis mahasiswa Pada Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi STFT “FAJAR TIMUR” Abepura – Papua)
sumber : tabloidjubi.com