DPR: UU Pangan Menjawab Kekhawatiran OECD
DPR: UU Pangan Menjawab Kekhawatiran OECD
Ketua Komisi IV DPR, M. Romahurmuziy, menyatakan bahwa pokok-pokok yang diatur dalam RUU tentang Pangan mencakup ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, konsumsi pangan dan gizi. Ini menjawab keraguan dari suatu organisasi internasional mengenai kebijakan pangan di Indonesia.
Rancangan Undang-undang itu, lanjut Romi, juga mengatur keamanan pangan, label dan iklan pangan, pengawasan, sistem informasi pangan, penelitian dan pengembangan pangan, kelembagaan pangan, peran serta masyarakat, dan penyidikan.
"Ketersediaan pangan dilakukan melalui pengutamaan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional," ujar Romi, sapaan Romahurmuziy, kepada VIVAnews, Kamis 18 Oktober 2012.
Romi menjelaskan bahwa seminggu yang lalu, 11 Oktober 2012, Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyatakan bahwa kebijakan pangan Indonesia salah arah.
"Mereka (OECD) menyatakan, Indonesia seharusnya melakukan diversifikasi produksi padi dengan komoditas lain yang bernilai tinggi, seperti tanaman buah, sayuran dan tanaman perkebunan, dan Indonesia harus meninggalkan arah pencapaian swasembada karena membutuhkan dana besar seperti untuk subdisi pupuk, perlindungan pasar impor dan ekspor.
Masih menurut mereka, komoditas pangan yang dikembangkan untuk mencapai swasembada tidak berdaya saing tinggi," ujar Romi.
Namun, lanjut Romi, RUU Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang telah disahkan menjadi Undang-Undang pada sidang paripurna DPR Kamis, didesain sebagai kebijakan penyelenggaraan pangan nasional yang adil, merata, dan mandiri.
UU Pangan tersebut mengatur penyelenggaraan pangan di Indonesia yang dilakukan dengan tujuan antara lain meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, menyediakan pangan yang beraneka ragam dan memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi konsumsi masyarakat, mewujudkan tingkat kecukupan pangan.
Ini terutama pangan pokok dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan di pasar dalam negeri dan luar negeri, meningkatkan kesejahteraan bagi petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan, dan melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.
Kedaulatan Pangan
Tentunya, lanjut Romi, pernyataan OECD di atas menjadi tidak tepat. Sebab, kebijakan pangan yang baru dalam bentuk RUU tentang Pangan merupakan upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
Dalam menentukan kebijakan pangan nasional, tambah Romi, perlu memperhatikan pidato Presiden Soekarno, 27 April 1952, saat peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian di Bogor, yang berjudul 'Soal Hidup atau Mati'.
"Inti dari pidato ini adalah mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita dikemudian hari, yaitu terkait persediaan makanan rakyat," kata Romi.
Romi menjelaskan, dalam mewujudkan keterjangkauan pangan, dilakukan pengaturan terhadap distribusi, pemasaran, perdagangan, stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok, serta bantuan pangan sampai ke masyarakat, rumah tangga, dan perseorangan.
Keamanan pangan, tambah Romi, dilakukan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.
"Dalam mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini merupakan komitmen nasional yang dikelola oleh pemerintah secara terintegrasi dan terkoordinasi lintas sektor dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat," tuturnya.
Sumber :http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/360556-dpr--uu-pangan-menjawab-kekhawatiran-oecd