Pemberantasan Penyakit Malaria RISET TERPADU UNTUK PENGEMBANGAN VAKSIN DAN OBAT MALARIA
Akhir-akhir ini, kita membaca artikel dan mendengar berita di media massa bahwa penyakit malaria kembali menyerang masyarakat di beberapa daerah di Indonesia termasuk di Provinsi Papua. Hal ini mengingatkan kita semua sebagai warga masyarakat akan bahaya penyakit mematikan ini. Seperti diketahui bersama, malaria merupakan salah satu penyakit yang sifatnya reemerging disease atau akan muncul kembali secara massal di suatu tempat. Sebagai salah satu penyakit yang digolongkan reemerging, malaria hingga saat ini tetap menjadi ancaman bagi hampir semua daerah di Indonesia. Di Indonesia, malaria sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dengan jumlah kematian minimal ribuan jiwa setiap tahunnya. Bagaimana para peneliti biologi molekuler meneliti penyakit yang diakibatkan oleh parasit Plasmodium ini? sampai sejauh mana pemberantasan penyebaran penyakit ini? adakah vaksin yang telah ditemukan ? Tulisan ini mencoba mengulasnya.
Penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit berwujud mikroba bersel tunggal dari genus Plasmodium. Ada berbagai macam spesies dari genus ini tetapi yang paling mematikan adalah Plasmodium falciparum (P. Falciparum). Parasit ini hidup di dalam tubuh nyamuk betina dan akan berpindah kepada manusia melalui gigitan nyamuk. Nyamuk dari spesies Anopheles gambiae adalah yang paling banyak ditemukan sebagai vektor (pembawa parasit) penyakit malaria.
Hasil penelitian yang pernah dipublikasikan menyatakan bahwa genom P. falciparum terdiri dari 14 kromosom. Terdapat dalam inti sel dan sebagian lainnya terletak di mitokondria serta hanya sebagian kecil yang berada di apicoplast. Besar ukuran genom parasit P. falciparum adalah hampir mencapai 23 Mb (mega basa), sementara genom nyamuk A gambiae sebagai tempat hidupnya berukuran 278,2 Mb. Keunikan dari genom P falciparum terletak pada komposisi DNA yang lebih dari 80 persen hanya terdiri dari basa Adenine dan Thymine. Menurut data, umumnya dua basa yang lain, Guanine dan Cytosine dalam komposisi sebanding. Akibat komposisi yang bias ini, analisis bioinformatika untuk menyambung atau asembling potongan-potongan sekuen yang telah dibaca menjadi sangat rumit karena jarangnya bagian yang tumpah tindih. Dari hasil pembacaan sekuen genom ini diketahui P. falciparum memiliki sekurangnya 5.300 gen penyandi protein. Sebagaimana lazimnya organisme lain, gen-gen tersebut mengkode protein-protein yang berfungsi dalam proses metabolisme, fungsi transpor materi organik dari dan ke dalam sel, fungsi dasar kehidupan seperti replikasi-perbaikan-rekombinasi DNA yang disebut sebagai gen house-keeping, dan lain-lain.
Dari hasil ini juga diketahui secara pasti bahwa parasit malaria memiliki jumlah gen yang mengkode enzim (protein yang berfungsi sebagai biokatalis dalam makluk hidup) dan protein transpor jauh lebih sedikit daripada organisme bersel satu nonparasit. Hal ini menjelaskan bahwa sebagai parasit, P. falciparum tidak perlu memiliki gen-gen untuk membuat energi sendiri seperti di atas karena sumber energi bisa diambil dari inang atau host yang ditempatinya. Sebaliknya, parasit malaria memiliki gen yang sangat banyak (208 gen atau 3,9 persen dari total jumlah gen) untuk mengelabui sistem pertahanan tubuh manusia. Kelihaian parasit malaria dalam mengecoh sistem pertahanan tubuh manusia tampak pula dari banyak dan bervariasinya gen yang bertanggung jawab untuk hal ini.
Hasil penelitian menunjukkan gen-gen tersebut dikelompokkan dalam tiga grup yang disebut var, rif, dan stevor. Gen tersebut antara lain mengkode protein erythrocyte membrane protein 1 (PfEMP1) yang digunakannya untuk menempel pada sel darah merah manusia. Protein ini telah lama dicoba sebagai target vaksinasi terhadap penyakit ini, namun hasilnya kurang memuaskan. Hal ini diduga karena P falciparum mengubah dan membuat variasi terhadapnya pada setiap tahapan.
Dari hasil pembacaan sekuen yang telah dipublikasikan diketahui ada 59 jenis gen var, 149 jenis gen rif, dan 28 jenis gen stevor, sedang genom nyamuk A gambiae yang diketahui memiliki 13.700 gen. Hasil menakjubkan dan menarik untuk dipahami yang berkaitan dengan penyakit malaria adalah ditemukannya 19 gen pengkode protein membran yang berpotensi sebagai sensor bau. Hal ini akan menjelaskan betapa nyamuk ini “berhak” untuk memilih manusia sebagai korban gigitannya melalui kemampuan sensor baunya yang akurat tajam. Selain itu juga ditemukan satu grup lengkap enzim-enzim yang diduga mempunyai kapasitas merusak senyawa insektisida yang selama ini digunakan untuk membunuh nyamuk, tapi malah menimbulkan resistensi. Di samping itu, diperoleh pula 242 gen dalam sistem pertahanan tubuh nyamuk yang menyebabkan parasit P falciparum dapat beradaptasi di dalam tubuh nyamuk tanpa dianggap sebagai musuh yang harus diperangi.
Tentu saja, publikasi tentang pembacaan genom berikut makanisme metabolisme, sistem kekebalan dan sebagainya, memberikan informasi beberapa target obat serta imunisasi baru dan fenomena yang terjadi terhadap obat-obat malaria yang sudah dikenal. Misalnya, hasil pembacaan genom ini memungkinkan penggambaran peta metabolisme lengkap dalam sel parasit P. falciparum. Ambil contoh obat kina dan derivatnya (turunannya) seperti chloroquinine, artemesinin dan lainnya yang selama ini dikenal sangat efektif karena beraksi dalam food vacuole, organela tempat parasit ini memakan protein hemoglobin dari sel darah merah mangsanya untuk mendapat energi. Dengan munculnya parasit- parasit yang resisten terhadap obat-obat itu, beberapa target lainnya perlu mendapat perhatian. Yang paling potensial misalnya masih dalam organela tersebut adalah senyawa-senyawa inhibitor enzim protease yang dapat menghambat kerjanya mendegradasi hemoglobin tersebut.
Dengan memahami dengan benar dan secara sistematik sistem pertahanan atau kekebalan P. falciparum, cara mutasi sehingga dapat menjadi resisten terhadap berbagai macam obat, dan lainnya, maka para ilmuwan dapat memahami dengan detail siklus hidup, proses metabolismenya. Bertolak dari hal tersebut ke depan para ilmuwan dapat meramu vaksin yang dapat memberantas penyakit ini.
Hasil riset terbaru yang dipublikasikan menyatakan bahwa parasit malaria Plasmodium falciparum terlihat terus mengubah bentuk protein yang ditinggalkannya pada sel yang terinfeksi. Cara ini ternyata cukup menyulitkan sistem kekebalan tubuh manusia. Hal ini disebabkan, sistem kekebalan tubuh manusia tidak memproduksi antibodi yang dapat melawan serangan protein itu sebelum parasit malaria berubah penampilan lagi.
Pengetahuan ini tentu saja sangat menggembirakan dunia penelitian biomolekuler karena membantu membuka jalan bagi penemuan obat antimalaria baru. Malaria menyebabkan hampir setengah milyar orang menderita penyakit akut dan setidaknya satu juta kematian tiap tahunnya di seluruh dunia. Wabah ini banyak menjangkiti negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang merupakan daerah endemis . Parasit P falciparum telah berevolusi hingga memiliki masa hidup yang panjang karena bermukim cukup lama di tubuh nyamuk sebelum akhirnya masuk ke tubuh manusia. Kondisi itu dimungkinkan terjadi lewat perubahan versi protein PfEMP1 yang terus-menerus. Protein inilah yang disisakan di permukaan sel yang terinfeksi.
Sementara waktu, sistem kekebalan tubuh manusia belajar untuk mengenali protein. Sejalan dengan itu, sistem kekebalan tubuh juga mencoba membuat antiobodi. Sayangnya, ketika itu berlangsung, parasit malaria sudah memproduksi bentuk protein lainnya. Keluarga gen-gen yang mengendalikan produksi protein PfEMP1 dikenal dengan nama var. Genom parasit malaria diketahui memiliki 59 gen var. Namun, hanya satu gen var yang terlihat pada satu waktu. Jadi, versi protein PfEMP1 yang bisa dikenali juga cuma satu. Selama masa infeksi, penampakan protein PfEMP1 terus berubah dari satu gen var ke gen var lainnya. Sementara itu, sisanya terdiam, tidak aktif (inactive)
Tim peneliti yang dipimpin oleh Howard Huges Medical Institute, Maryland, Amerika Serikat menemukan ada perbedaan antara DNA gen var aktif dan DNA yang tidak aktif. Gen-gen yang tidak aktif rupanya dikontrol oleh silent information regulator 2. Selain itu, ada pula mekanisme dalam genom yang memindahkan gen var terseleksi ke sebuah 'spotlight' untuk dapat berubah menjadi aktif. Pengembangan vaksin pengobatan malaria dapat ditemukan tentu saja melalui mekanisme pengaktifan dan penonaktifan gen car bisa diketahui lebih mendalam. Untuk memberantas parasit malaria di dalam tubuh, kita harus membuat parasit malaria mengubah seluruh variasi gen var menjadi aktif. Dengan begitu, sistem kekebalan tubuh dapat mengenali semuanya dan mengendalikan infeksi parasit malaria.
(Yohanis Ngili)
0 komentar
belum ada komentar